Rabu, 16 Maret 2011

GRAND STRATEGI POLRI



Pemerintah Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat yang adil makmur dan beradap berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Imdonesia tahun 1945, melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selaku alat Negara yang dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Penyelenggaraan fungsi kepolisian agar kegiatan pembangunan nasional berjalan efektif, efisien dan bersasaran maka diperlukan perencanaan pembangunan Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Grand Strategi Polri
Grand Srategi dalam rangka memantapkan kemandirian Polri sebagaimana dirumuskan dalam buku biru Polri tentang reformasi Polri, maka melalui rancangan paradigma baru Polri, Polri telah mencanangkan reformasi secara gradual yang meliputi reformasi instrumental, structural dan cultural Grand Strategi Polri telah menggariskan secara bertahap arah pembangunan Polri kedepan yang harus dapat diwujudkan oleh seluruh personil kepolisian. Kebijakan akselerasi tranformasi Polri yang dititik beratkan pada perubahan perilaku setiap anggota Polri dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian Gran Strategi Polri.
Karena Polri merupakan aparatur Negara, maka pertanggung-jawaban akhirnya adalah kepada pemilik kedaulatan, yakni seluruh rakyat Indonesia.  Dalam konteks Good Governance, Polri sudah sewajarnya menjalankan prinsip-prinsip yang akuntabel, transparan, menghargai kesetaraan, taat hukum dan demokratik. Sebagai bagian dari aparatur Negara yang bertanggung-jawab pada masalah keamanan dan ketertiban masyarakat,
 Polri dalam menghadapi berbagai masalah yang kompleks yang apabila penanganannya tidak profesional akan menjadi bumerang bagi Polri sendiri atau dapat menimbulkan masalah baru. Seperti kekerasan yang dilakukan oleh petugas kepolisian di lapangan saat mengamankan aksi demontrasi, salah prosedur, salah tembak, maraknya penyalahgunaan narkoba, konflik antar suku bangsa maupun perkelahian antar warga masyarakat yang tidak tuntas penanganannya, kenakalan remaja, terorisme, kejahatan kerah putih, ketidaknetralan petugas kepolisian dalam menyelesaikan konflik. Hal itu menimbulkan isu yang kontroversial dan menyudutkan Polri. Sedangkan masyarakat selalu menuntut adanya pelayanan prima dan adanya perubahan yang signifikan dalam melaksanakan pemolisiannya.
Kompleksnya masalah yang dihadapi Polri untuk menuju polisi sipil dalam masyarakat modern demokratis dan dapat dipercaya hanya mungkin dilaksanakan dengan kemampuan yang profesional. 
Tekad Polri untuk melakukan pembenahan dan mencari alternatif solusi terhadap permasalahan yang dihadapi institusinya berimplikasi kepada penetapan grand strategy Polri. Grand strategy Polri dirumuskan dalam tiga tahapan yang mencerminkan upaya Polri secara gradual. Tahap I adalah Trust Building, periode waktu tahun 2005 – 2010. Penetapan tahap 1 didasarkan pada argumentasi bahwa keberhasilan Polri dalam menjalankan tugas memerlukan dukungan masyarakat dengan landasan kepercayaan (trust). Tahap II, Partnership Building, periode tahun 2011 – 2015, merupakan kelanjutan dari tahap pertama, perlu dibangun kerja sama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan pekerjaan Polri. Tahap III, Strive for Excellence, periode tahun 2016 – 2025. Pada tahap III dibangun kemampuan pelayanan publik yang unggul dan dipercaya masyarakat sehingga pelayanan Polri yang optimal dapat diwujudkan.
Sedangkan untuk mempercepat jalannya program-program yang ada di dalam tahapan tersebut Kapolri menetapkan program akselerasi transformasi Polri menuju Polri yang mandiri, professional, modern dan dipercaya masyarakat, adapun beberapa kegiatan yang mengalami akselerasi di jabarkan dalam program Quick wins yang terdiri dari : program quick respon samapta, program transparansi proses penyidikan reserse dengan pemberian surat pemberitahuan perkembanagan hasil penyidikan (SP2HP), program peningkatan pelayanan SIM, STNK dan BPKB, serta program transparansi rekruitmen personel Polri. Hal ini dilakukan dalam rangka mempercepat proses reformasi birokrasi Polri pada bidang kultural, yang sejalan dengan program reformasi birokrasi yang di keluarkan oleh pemerintah.
Program akselerasi diperlukan untuk pencapaian tujuan dari grand strategy Polri yang telah ditetapkan. Penyusunan program akselerasi dititikberatkan pada perubahan perilaku setiap anggota Polri dalam menjalankan tugasnya, memberikan pelayanan prima dan mewujudkan rasa aman masyarakat. Program akselerasi pada tahap I diarahkan pada pembenahan dan perubahan kultural yang mencakup 12 bidang, yaitu :
1) Bidang perumusan tugas pokok  
2) Bidang organisasi  
3) Bidang operasional
4) Bidang kerjasama / HTCK (Hubungan Tata Cara Kerja)
 5) Bidang tata kelola logistik
 6) Bidang tata kelola asset
7) Bidang tata kelola anggaran
8) Bidang manajemen mutu dan kinerja
 9) Bidang sumber daya manusia
10) Bidang remunerasi dan kesejahteraan
11) Bidang pemberdayaan Litbang
12)Bidang pelayanan dan pengaduan masyarakat.
Menggaris bawahi bidang pelayanan dan pengaduan masyarakat sebagai ujung tombak dari pembentukan citra Polri, maka pelayanan yang diberikan Polri kepada masyarakat harus betul-betul dilakukan dengan menggunakan berbagai strategi sehingga mampu berdampak kepada sinergi antara masyarakat dan Polri dalam bingkai community policing.
Konsep “pelayanan Kepolisian” mengandung pengertian yang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan konsep “Pelayanan masyarakat” yang biasa digunakan Polri. Hanya saja istilah pelayanan masyarakat memberikan penekanan pada obyek yang dilayani (masyarakat) tanpa memberikan batasan pada apa yang dilayani (jasa Kepolisian). Ini berarti bahwa Polri bisa dituntut oleh setiap warga masyarakat untuk melayani segala sesuatu yang mungkin diluar bidang tugas dan wewenangnya. Istilah tersebut juga disalah pahami oleh anggota Polri dilapangan yang mengartikan bahwa tugas utama adalah memberikan pelayanan masyarakat sehingga kurang memperdulikan pelanggaran hukum yang terjadi Selain itu, istilah ini tidak jarang menimbulkan persepsi yang berbeda tentang peranan (role) antara yang melayani (polisi) dan yang dilayani (warga masyarakat) (Muhammad, 2000).
Menurut Suparlan, Pelayanan adalah suatu kegiatan memberikan sesuatu (jasa, kesempatan, dll) kepada seseorang atau beberapa orang oleh seseorang atau beberapa orang atau institusi sesuai dengan tugas dan kewenangan dari tanggung jawabnya . Pelayanan merupakan suatu proses dari proses pemberian pelayanan dan penerimaan pelayanan, oleh karena itu pelayanan yang diberikan oleh fungsi pegawalan adalah proses pemberian pelayanan pengawalan kepada masyarakat, dimana di dalam proses pemberian pelayanan tersebut terlibat unsur-unsur petugas yang memberikan pelayanan. Tugas-tugas kepolisian yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat antara lain melipui : ( Koesparmono Irsan, 1995:16):
1) Pelayanan atas pengaduan / laporan dari masyarakat.
2) Pelayanan dalam memberikan bantuan kepolisian.
3) Pelayanan administrasi lantas.
 4) Pelayanan dalam proses penegakan hukum / penyidikan.
Tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam pelayanan kepolisian, antara lain:
1) Kompetensi dari pengembangan profesi. Kompetensi berkaitan dengan kemampuan petugas-petugas Kepolisian untuk mengaplikasikan secara tepat pengetahuan dan ketrampilan sesuai ketentuan hukum.
2) Konsistensi, baik dalam pengertian waktu dan tempat maupun orang. Artinya layanan Kepolisian harus disajikan secara konsisten pada sepanjang waktu, disemua tempat dan oleh segenap petugas.
3) Kualitas pelayanan Polri adalah keberadaan yang banyak berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai sosial suatu masyarakat.
Menurut Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Dalam Pasal 2 dijelaskan bahwa : ” Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Tujuan Polri dalam Pasal 4 dijelaskan : Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia
Dinamika eksistensi, perjalanan, dan pengabdian Kepolisian Republik Indonesia dengan segala keberhasilan dan kegagalannya, serta agenda ke depan yang harus dituntaskan. Semua hal ini tidak bisa dilepaskan dari salah satu faktor determinannya yaitu aspek kemitraannya dengan masyarakat.
polisi sebagai mitra masyarakat yaitu polisi yang merangkul bukan memukul, polisi yang mengajak bukan membentak, dan polisi yang mendidik bukan menghardik.
Haruskah Polisi dan masyarakat bermitra?
membangun kemitraan antara polisi dan masyarakat dalam arti tidak sekedar "mitra-mitraan", tetapi mitra yang kokoh, mitra yang otentik tidak kosmetis dan mitra yang saling memberi nilai tambah bagi keduanya. Sepertinya perlu untuk diupayakan dan dieksplorasi lebih lanjut oleh kedua belah pihak.
Pasca reformasi adanya tuntutan perubahan paradigma konvensional kepolisian yang menekankan pada law enforcement kepada pemolisian yang lebih berorientasi pada pemolisian komunitas, di mana paradigmanya lebih kepada client oriented service delivery aimed at improving accountability effectiveness by focusing problem solving (Trajanowics, et al. 1940).
Namun, paradigma community policing pada aktualisasinya memerlukan kemitraan dan partisipasi masyarakat. Pusat Penelitian Hak Asasi Manusia UII Yogyakarta setelah reformasi pernah melakukan riset untuk menampung semua pendapat masyarakat mengenai polisi dan apa komentar polisi tentang masyarakat. Hasilnya sangat memprihatinkan, dua belah pihak saling menebar rasa kekecewaan dan malas untuk memercayai satu sama lain. Masyarakat lebih memilih bertindak pragmatis dalam berhubungan dengan polisi dan polisi juga menilai masyarakat terlalu banyak menuntut kepadanya.
Kondisi tersebut sepertinya, saat ini, belum berubah secara signifikan. Padahal sikap saling percaya, merupakan kunci sukses upaya mewujudkan kemitraan dan partisipasi masyarakat. Terutama sense of participation hanya dapat diwujudkan bila partner untuk berpartisipasi bisa dipercaya (trustable ), kredibilitasnya terjaga, dan profesional dalam melaksanakan tugasnya secara hakiki, bukan secara kosmetis.
Pencitraan masyarakat terhadap kepolisian berangsur positif. Meskipun demikian, berbagai kelemahan masih dikeluhkan publik terhadap kinerja kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Kondisi ini tecermin dari jajak pendapat yang dilakukan Kompas terhadap kinerja lembaga kepolisian selama ini. Hasil penelitiannya menunjukkan, citra polisi cenderung meningkat ke arah positif dibandingkan dengan tahun sebelumnya,.
Akar historis
Eksistensi fungsional kepolisian adalah suatu institusi sipil yang dipersenjatai agar dapat memberikan efek pematuhan (enforcing effect ) yang ditujukan untuk dapat menjaga sistem kepatuhan (konformitas). Menurut Nurfaizi (1999), kepolisian diperlukan untuk menghindarkan kemungkinan adanya tabrakan kepentingan, penyimpangan perilaku, dan perilaku kriminal dari individu-individu warga masyarakat juga bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat.
Melalui paradigma baru kepolisian, menurut Nurfaizi (1999) akan dikembangkan suatu tipe "perpolisian berkemanusiaan (human policing )", yaitu ruang yang menggunakan "humanistic scenario ," yang menggantikan "repressive scenario " yang digunakan selama ini.
Dalam operasionalnya, paradigma ini akan terimplementasi melalui jati diri yang memersepsikan diri sebagai abdi masyarakat, mempunyai sikap, metode, dan orientasi kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani, serta sikap kemandirian yang dapat diaktualisasikan melalui kemampuan profesionalisme yang mumpuni.
Reformasi, melalui keputusan politik nasional, telah mereposisi fungsi dan peran Polri sebagai polisi sipil. Ketetapan MPR tersebut secara konsepsional telah memisahkan polisi dari komunitas militer (ABRI) dan langsung di bawah kordinasi presiden. Hal ini sejalan dengan perjanjian hukum internasional, yang mendudukkan polisi sebagai bagian dari dunia sipil. Reposisi fungsi Polri memberikan peluang bagi dilakukannya pemikiran ulang yang mendasar terhadap peranan kepolisian dan menjadikannya sebagai bagian utama dari agenda reformasi hukum di Indonesia.
Community policing merupakan salah satu model atau gaya yang paling inovatif untuk mendukung upaya-upaya reformasi kepolisian yang diupayakan baik oleh pihak kepolisian sendiri maupun kelompok-kelompok masyarakat. Kekhasan community policing yang menekankan pada pentingnya peran dan keterlibatan masyarakat untuk mendukung terciptanya polisi sipil yang profesional dan bertanggung jawab merupakan suatu langkah strategis dari agenda reformasi, khususnya reformasi hukum.
Ada dua aspek penting dalam upaya reformasi kepolisian, yaitu, pertama, adanya kebutuhan untuk menghilangkan kepolisian dari cara-cara yang militeristik dengan mentransformasikannya menjadi suatu institusi sipil yang melayani dan melindungi masyarakat; serta yang kedua yaitu kebutuhan untuk mereformasi polisi guna mendukung proses demokratisasi yang lebih luas di Indonesia.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa praktik-praktik perpolisian di Indonesia hingga saat ini secara umum cenderung telah mengisolasikan aparat kepolisian dari masyarakat yang dilayaninya yang tentunya berdampak pada kinerja kepolisian untuk melakukan pengendalian kejahatan yang lebih efisien. Oleh karena itu, penerapan community policing sangat dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi para aparat penegak hukum tersebut untuk memperbaiki kembali hubungannya dengan warga masyarakat yang merupakan mitra utamanya.
Muchtar Lubis (1988) dalam bukunya Citra Polisi , menggambarkan bahwa citra polisi Indonesia agaknya belum menemukan bentuk yang jelas. Karena polisi yang diharapkan dan idealnya menjadi pelindung rakyat, dalam kenyataannya lebih dikenal sebagai "yang mengejar-ngejar rakyat". Ia lalu berubah menjadi sosok yang menakutkan. Namun, itu tidak sepenuhnya karena kesalahan polisi, melainkan juga karena dilema yang dihadapi oleh polisi di tengah masyarakat yang semakin berubah.
Strategi komunikasi
Kemitraan adalah salah satu wujud nyata komunikasi sehingga kedua belah pihak, terlebih pihak kepolisian sebagai pihak yang paling berperan dalam mewujudkan kemitraan yang memberi nilai tambah perlu menerapkan strategi komunikasi yang tepat. .
Belum berhasilnya pihak kepolisian dalam mengimplementasikan community policing sehingga filosofi tersebut menjadi bagian dan milik masyarakat secara fungsional. Maka, Polri sebagai subjek utama dari keberhasilan program community policing perlu memiliki strategi dan pola komunikasi yang tepat dan dapat diimplementasikan sehingga polisi semakin dekat dengan masyarakat. Selain itu, masyarakat semakin kooperatif membantu tugas polisi serta merasa nyaman atau terbuka dengan polisi. Community policing tidak mudah diterapkan, tetapi bukan hal yang tidak mungkin jika ada kesungguhan dari semua pihak. Tentu saja muaranya adalah terwujudnya total action partisipasi seluruh komponen masyarakat dan jajaran kepolisian untuk membangun dan memelihara keamanan dan ketertiban dalam perspektif masyarakat demokratis dan pengakuan atas supremasi hukum, harus menjadi komitmen kita semua.
 Tujuannya
  1. Membangun kepercayaan internal Polri dalam grand strategi merupakan faktor penting karena merupakan awal dari perubahan menuju pemantapan kepercayaan trust building internal meliputi : kepemimpinan, sumber dana, sdm, orang yang efektif, pilot project yang konsisten di bidang Hi-Tech, kemampuan hukum yang sarpas mendukung Visi Misi Polri.
  2. Membangun kerja sama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan fungsi kepolisian dalam penegakan hukum, ketertiban serta pelayanan, perlindungan, pengayoman untuk menciptakan rasa aman.
  3. Membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan good government, best practice polri, profesionalisme SDM. Implementasi teknologi, infrastruktur matfasjas guna membangun kapasitas polri (capacity building) yang kredibel di mata masyarakat nasional, regional dan international.

Partisipasi masyarakat merupakan strategi utama dalam menjaga ketertiban dan keamanan lingkungannya dengan mengupayakan pembangunan sistem atau jaringan kebersamaan antara petugas polisi dengan masyarakat penegakan keadilan masyarakat atau lebih dikenal dengan sebutan restorative community justice adalah suatu upaya pencegahan kejahatan (bukan  mengutamakan penanggulangan untuk menegakan hukum, keamanan dan ketertiban masyarakat).
Pencapaian tujuan utama lembaga polisi tersebut terbukti tidak cukup dengan mengandalkan sistem peradilan criminal (criminal justice system) yang mudah memancing polisi memakai sistem pendekatan represif. Di samping itu, kita menyaksikan kejahatan makin meningkat dalam berbagai bentuk. Polisi mulai mengembangkan sistem operasi kepolisian dengan penerapan “Penegakan Keadilan Masyarakat” yang menekankan aspek keadilan sebagai motivasi memecahkan masalah kejahatan, pencapaian keamanan dan ketertiban masyarakat, sekaligus menunjang kehidupan demokrasi. Dalam rangka pencapaian tujuan tersebut Polri tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus bersinergi dengan segenap komponen masyarakat lainnya dengan mengedepankan paradigma saling bekerja sama, saling mendukung dan saling memberdayakan untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan kekuatan TNI maupun unsure pemerintah lainnya.
Untuk itu, Polri wajib menampilkan sikap dan wajah yang “tegas dan humanis”, wajah tegas tidak berarti arogan atau mau menang sendiri, tetapi harus tampil semakin kuat dan kokoh dalam memberantas dan menanggulangi para pelanggar hukum. Tegas dalam arti tanpa kompromi dan tidak terpengarus oleh berbagai godaan yang melanggar hukum dan sumpahnya. Pada sisi lain ”wajah humanis” yang berarti bersikap melindungi dan melayani serta berorientasi pada prestasi, dan bermoral humanis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
1. selalu meningkatkan profesionalitas dan disiplin pribadi dalam setiap pelaksanaan tugas, dengan mengedepankan sikap etis dan humanis namun tegas.
2. hindari tindakan kekerasan dalam setiap pelaksanaan tugas serta senantiasa menjunjung tinggi hak asasi manusia.
3. jalin kerjasama dan hubungn yang harmonis dengan TNI dan segenap komponen masyarakat lainnya baik dalam melaksanakan tugas maupun dalam kehidupan sehari – hari.
4. berikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh warga masyarakat, dan
5. pegang teguh komitmen terhadap organisasi, untuk membuktikan bahwa Polri mampu menjalankan peranannya sebagai Bhayangkara sejati

Tantangan pencapaian Grand Strategi Polri.
Dengan pelaksanaan program unggulan dimaksud diharapkan dapat mempengaruhi penilaian atas keseriusan dan keberhasilan penyelenggaraan reformasi birokrasi Polri, yang berkolerasi dengan adanya rencana realisasi remunerasi dilingkungan Polri. Akhir-akhir ini Polri dihadapkan pada situasi yang kurang menguntungkan baik secara perorangan maupun secara organisasi, namun tantangan ini harus kita hadapi dengan melakukan perbaikan-perbaikan kedalam yang signifikan, segingga memupus berbagai tudingan yang skeptis terhadap Polri
Tantangan Polri dalam melaksanakan fungsi kepolisian dapat dibedakan atas masalah eksternal dan internal Polri yang meliputi :
A.   Masalah eksternal ditandai dengan perlunya pengamanan perbatasan dan pulau-pulau terluar, kedepan akan semakin berat karena dihadapkan pada berbagai gangguan kamtibmas yang terjadi sebagai dampak dari perkembangan kehidupan masyarakat, Bangsa dan Negara. Konflik horizontal dalam masyarakat maupun konflik vertikal yang mengarah pada gerakan separatisme, kejahatan terorisme serta berbagai bentuk kejahatan lain yang mengancam keselamatan masyarakat dan merugikan kekayaan Negara harus dapat ditangani secara komprehensif dan professional. Oleh karena itu kekuatan dan kemampuan dalam penanganan berbagai bentuk kejahatan yang berintensitas tinggi secara efektif dan efisien
B.   Masalah internal ditandai dengan belum optimalnya hasil reformasi struktural,instrumental dan kultural. Meskipun reformasi ketiga aspek organisasitersebut telah dilaksanakan secara simultan, namun dirasakan reformasi bidang kultural masih belum memenuhi harapan masyarakat atas pelayanan kepolisian yang prima, yang ditandai dengan masih rendahnya kepercayaan masyarakat kepada Polri.
Harapan Masyarakat
Polri harus professional, tidak represif, selain itu, Polri harus lebih dekat dengan rakyat didalam melaksanakan misi penegakan hukumnya, menjunjung tinggi keadilan dan menghormati HAM merupakan prasarat lain yang harus dilakukan Polri dalam mereformasi dirinya, dengan kata lain, dalam mewujudkan misinya, Polri harus mampu membangun citra sebagai pelindung, pengayom masyarakat, serta pengabdi bangsa dan Negara

Pustaka :
Suparlan, Parsudi, 2004, “Kajian Antar Bidang”, Dalam, ed., Parsudi Suparlan, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian, Jakarta : YPKIK
Prof. dr. Indria Samego, 14 Juli 2008, Mewujudkan first line Supervisor Polri yang Tangguh dan Dipercaya Diera Perubahan,

1 komentar:

  1. Lucky Casino $10 - Mapyro
    Find your lucky casino near you and if 화성 출장마사지 it's good, 경산 출장마사지 you can use our locator to pick up 천안 출장샵 random games. 안동 출장마사지 Find a game you like better 아산 출장안마 than you have yet to find

    BalasHapus